Program B35 Dorong Harga TBS di Tengah Penurunan Ekspor

Program B35 Dorong Harga TBS di Tengah Penurunan Ekspor

harian-nasional.com/ – JAKARTA- Petani kelapa sawit menyambut gembira berlakunya program biodiesel B35 karena terbukti berhasil mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) di tengah penurunan ekspor.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, program B35 menjadi penyelamat ekonomi petani karena harga sawit naik secara progresif sejak awal Februari lalu.

Padahal sejak November 2022 kuantitas ekspor CPO (minyak sawit mentah) dan turunannya merosot. Hal itu terdeteksi dari harga CPO yang kian turun sejak November 2022 hingga Januari 2023. “Indikator penurunan ekspor dapat juga dilihat dari menurunnya pasokan DMO (domestic market obligation) di aplikasi Simirah,” ujar dia dalam siaran persnya yang diterima Investor Daily,di Jakarta, Selasa (14/2).

DMO dan ekspor memiliki keterkaitan karena dengan ekspor akan muncul DMO, dengan rasio 1:6 yaitu ekspor enam kali lipat dari kewajiban memasok dalam negeri. “Jika tidak ada enam, maka satu (DMO) tidak akan ada.

Jika tidak ada B35 awal Februari lalu, maka penurunan kuantitas ekspor pasti akan menjatuhkan harga TBS. Dengan B35 akan menyerap CPO domestik dan TBS petani sawitpun akan terserap oleh PKS-PKS (pabrik kelapa sawit).

Penguatan harga TBS tersebut dapat dilihat di Posko Harga TBS Apkasindo selama satu minggu terakhir (4-11 Februari) yang menunjukkan naiknya harga CPO dari Rp11.200 per kg menjadi Rp 11.950 per kg.

Data itu menunjukkan rerata harga TBS di 22 provinsi sebesar Rp 2.331 per kg. Harga tertinggi berada di Riau Rp 2.600 per kg dan terendah di Sulawesi Selatan Rp 2.025 per kg (harga PKS). Perbedaan harga tersebut berbeda karena waktu penetapan harga TBS Dinas Perkebunan juga berbeda.

Yang luar biasa, lanjut Gulat, harga TBS petani swadaya di beberapa PKS ada yang di atas harga penetapan Dinas Perkebunan dan semua berhubungan dengan penyerapan domestik melalui program B35.

Program tersebut juga dinilai bukan penyebab kelangkaan minyak goreng (MinyaKita), karena pemerintah telah mengantisipasi penurunan pasokan DMO akibat perlambatan ekspor dengan meningkatkan wajib pasok kebutuhan MinyaKita (DMO) dari 300 ribu ton menjadi 450 ribu ton.

“Kami sangat mengapresiasi semua perusahaan yang bergotong royong untuk kebijakan pemerintah ini,” kata Gulat.

Dia menyayangkan seringnya sejumlah pihak menyalah-artikan istilah subsidi yang menguntungkan korporasi produsen biodiesel atau FAME (fatty acid methyl esther).

Program biodiesel justru menguntungkan semua pihak, khususnya masyarakat pengguna biodiesel (B35), petani sawit dan menghemat devisa negara.

Selain itu juga dapat mengurangi dampak lingkungan karena biodiesel adalah green energy (reversible) sedangkan minyak fosil adalah hasil bumi yang tidak pernah kembali lagi (irreversible).

Gulat menambahkan, subsidi yang dibayar BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) tersebut adalah selisih antara biodisel dengan HIP (harga indeks pasar) solar yang ditetapkan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral).

Sebagai informasi, lebih dari enam bulan terakhir BPDPKS tidak sepeserpun menggelontorkan dananya untuk membayar selisih biodiesel dengan HIP solar. Hal itu karena harga solar fosil lebih mahal ketimbang harga biodiesel.

BPDPKS akan mengucurkan dananya jika harga HIP biodiesel lebih tinggi dibanding HIP solar. “Jikapun nanti harga biodiesel lebih tinggi dari HIP solar, yang menerima manfaatnya adalah masyarakat sebagai konsumen biodiesel,” jelasnya.