Menggugat Asas Rekognisi terhadap Masyarakat Adat

Menggugat Asas Rekognisi terhadap Masyarakat Adat

harian-nasional.com/ – rekognisi dalam mengakomodir hak asal usul masyarakat adat nampaknya sudah out of date, karena kenyataannya sampai hari ini asas ini ‘tidak berdaya’ melindungi masyarakat adat.

Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan jumlah kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat pada 2020 saja mencapai 40 kasus.

Bahkan perlindungan yang seharusnya lebih maksimal pascaputusan MK No. 35/2012 jelas-jelas telah diabaikan oleh para penegak hukum.

Quo vadis asas rekognisi

Asas rekognisi sebenarnya ‘bukan’ baru muncul pascaamandemen UUD NRI 1945 melalui Pasal 18B. Gagasan rekognisi sudah muncul di dalam penjelasan Umum I UUD 1945 sebelum amandemen, yakni “Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak ditulis”.

Mengacu pada pandangan ini, maka seharusnya segala hukum yang tidak tertulis adalah konstitusional, tidak perlu ada rekognisi.

Penjelasan tersebut tidak menyebutkan hukum tidak tertulis “di bawah” hukum tertulis, melainkan “di samping”, yang berarti sejajar. Dengan demikian, perlu dicatat bahwa hukum tidak tertulis bukanlah subordinat dari hukum tertulis.

Namun, amandemen UUD NRI 1945 menghapus penjelasan, sebagai gantinya konstelasi hukum tertulis dibakukan kedalam batang tubuh melalui Pasal 18B ayat (2).

Isinya, walapun disebutkan negara sudah mengakui dan menghormati hak-hak tradisional (termasuk Hukum Adat), namun ketentuan “diatur dalam undang-undang” menjadi sikap negara yang sudah menempatkan hukum adat secara subordinat.

Proses rekognisi ternyata bukanlah bagaimana peran negara dalam mengakui dan menghormati, namun bagaimana peran negara mengatur proses legalitas hukum adat melalui prosedur yang sulit terpahami oleh masyarakat adat.

Beberapa regulasi yang bersifat sektoral memberikan pemahaman sendiri tentang kriteria masyarakat adat. Bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 seakan macet dan sukar diimplementasikan.

Hasil penelitian dari Badan Pembidanaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 2015 menyebutkan bahwa variasi regulasi pelaksana sektoral yang mengatur pengakuan masyarakat adat, namun justru hal ini menjadi masalah dalam pelaksanaannya yang tidak berbasis standarisasi melainkan sektoralisme dan tidak adaptif.

Munculnya berbagai ketidakjelasan regulasi sektoral dalam mengakui masyarakat hukum adat tidak lain adalah “konsep asas rekognisi” yang masih ditafsirkan mengatur, bukan melindungi.

Evaluasi terhadap hal ini adalah perlunya mengganti mindset dalam melihat masyarakat adat bukan dari sudut pandang negara, melainkan dari sudut pandang masyarakat adat itu sendiri.

Bahkan, upaya kolonial mengkooptasi masyarakat adat masih lebih elegan dengan mempertimbangkan filosofis volkgeist (jiwa rakyat) sebagaimana diperjuangkan van Vollenhoven.

Dari rekognisi menuju melindungi

Menjadikan perspektif masyarakat adat berarti negara sudah seharusnya mengganti “asas rekognisi” menjadi “asas melindungi”, sehingga keberadaan masyarakat hukum adat yang organis jangan dipaksa secara formalis melalui prosedur birokratis yang cenderung politis.

Dalam asas melindungi ini, negara menjadikan hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis sebagaimana konstelasi awal negara ini dibangun, yakni menempatkannya sejajar dengan hukum tertulis, bukan subordinatnya.

Munculnya paham rekognisi yang cenderung formalis ketimbang organis telah menempatkan masyarakat adat dalam koridor “legalitas”. Perspektif yang dibangun adalah negara, yang notabene muncul jauh setelah masyarakat adat ada dan menetap di Nusantara, tiba-tiba datang mengatur dan melakukan filterisasi melalui regulasi atas eksistensi mereka.

Pemahaman yang demikian jauh dari cita negara (staatside) sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945, yakni “…membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..”.

Asas perlindungan terhadap masyarakat adat sebenarnya sudah muncul di dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun ketentuan ini terkesan hanya gimmick semata tanpa ada hulu dan hilirisasi yang jelas mau dikemanakan aktualisasi ketentuan ini.

Meminjam peristilahan dari Lawrence M. Friedman (1975), aturan ini seperti macan ompong, garang tapi tidak mengigit.

Buktinya, lebih dari 23 tahun UU HAM diberlakukan, keberadaan masyarakat adat masih saja rentan dan cenderung dikriminalisasi.

Regulasi vis a vis legitimasi

Negara terlalu banyak mengatur masyarakat adat pada berbagai sektor hingga sesak karena hingga saat ini masyarakat adat belumlah bernafas lega.

Berbagai bentuk aturan malah cenderung mendelegitimasi eksistensinya yang organis kemudian dipaksa untuk “dilegalkan” melalui standar rekognisi masing-masing regulasi sektoral.

Terbaru, intervensi negara muncul dalam Pasal 2 UU No. 1/2023 tentang KUHP yang mendorong pembentukan peraturan daerah yang mengatur sampai pada tahap “Tindak Pidana Adat” sehingga ketentuan ini selain bias juga cenderung menegasikan pranata adat.

UU No. 2/2022 tentang Cipta Kerja juga menempatkan posisi masyarakat adat tidak lebih baik karena sangat prosedural dan formalis, terutama pada pengakuan yang harus di-legal-kan melalui peraturan perundang-undangan.

Keberadaan regulasi di sisi lain menghambat proses legitimasi terhadap masyarakat adat secara utuh, sehingga perlindungan terhadap masyarakat adat menjadi tersedat.

Di sini, pemaknaan rekognisi lagi-lagi selalu dimaknai “mengatur” dan “melegalkan” keberadaan masyarakat adat, seakan-akan masyarakat adat membutuhkan legitimasi dari negara, bukan negara yang membutuhkan legitimasi dari masyarakat adat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.